Selidikinews.com, JAKARTA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan bahwa Ketua MPR RI 2013-2014 yang kini menjabat Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Irjen Pol (purn) Sidarto Danusubroto mengungkapkan, bahwa Presiden Terpilih Prabowo Subianto akan menghadapi berbagai persoalan bangsa yang sangat pelik.
Misalnya terkait menyelamatkan masa depan demokrasi Pancasila yang berhadapan dengan demokrasi kapitalisme.
Sebagai salah satu solusinya, Indonesia bisa menggunakan sistem Pemilu campuran untuk Pileg. Serta pemilihan tidak langsung untuk Pilkada. Misalnya, tiga partai politik yang memenangi Pileg di daerah tersebut bisa mengajukan Calon Kepala Daerah untuk kemudian dipilih melalui DPRD.
“Sistem Pemilu campuran juga pernah saya tawarkan pada saat menjabat Ketua DPR RI 2018-2019. Mengkombinasikan pemilihan langsung dengan pemilihan proporsional.
Beberapa negara sudah menggunakan, seperti di Jerman. Pemilih bisa tetap memilih calon legislatif secara langsung, namun partai politik juga punya peran besar dan juga dapat mengajukan kader terbaiknya duduk di parlemen,” ujar Bamsoet dalam Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR bersama Ketua MPR RI 2013-2014 yang kini menjabat Anggota Wantimpres Irjen Pol (purn) Sidarto Danusubroto, di Jakarta, Selasa (4/6/24).
Hadir para Wakil Ketua MPR antara lain, Ahmad Basarah, Hidayat Nur Wahid, dan Fadel Muhammad.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, sudah menjadi rahasia umum bahwa calon yang ingin maju dalam pemilihan, selain memiliki kualitas dan integritas, juga harus memiliki ‘isi tas’.
aADemokrasi Pancasila yang sesuai sila ke-4 Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, kini malah berubah menjadi demokrasi NPWP, Nomor Piro Wani Piro.
Telah terjadi kapitalisme politik, karena demokrasi malah menjadi hanya dinilai dengan angka-angka. Sangat jauh dari nilai proklamasi dan reformasi.
“Di Amerika yang liberal saja, kondisi politik uang tidak terjadi. Tidak seliberal seperti di Indonesia saat ini. Hal itu karena pendidikan dan pendapatan masyarakatnya sudah tinggi.
Justru para calon yang dibiayai publik. Seperti Barrack Obama yang sukses menjadi Presiden dengan dibiayai publik. Begitupun dengan sosok Claudia Sheinbaum, yang baru saja menjadi perempuan pertama yang terpilih menjadi Presiden Ekuador,” jelas Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI (Ormas Pendiri Partai Golkar) dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, Sidarto Danusubroto juga menekankan pentingnya mengkaji kembali keberadaan pasal 33 UUD NKRI Tahun 1945.
Pasca empat kali amandemen, dengan adanya ketentuan “efisiensi berkeadilan” yang tercantum dalam pasal 33 ayat 4, dianggap telah mengubah konsep negara kesejahteraan (Welfare State) menjadi liberalisasi sistem ekonomi.
“Kegiatan ekonomi menjadi bisa dikendalikan oleh mekanisme pasar yang cenderung menciptakan penguasaan terhadap potensi ekonomi hanya pada segelintir orang/kelompok saja.
Hal ini kemudian berkembang menjadi ekonomi liberal dengan munculnya praktik-praktik oligopoly bahkan monopoli. Tidak heran jika keran impor terhadap berbagai kebutuhan pokok terbuka lebar.
Peran asing dalam pengelolaan kekayaan sumber daya alam berupa minyak, gas, dan mineral lain yang terkandung didalamnya, juga menjadi terbuka lebar. Perlahan peran negara menjadi hilang,” pungkas Bamsoet.(Cakra Langit)