SelidikiNews.com, Jakarta – Seringkali mayoritas orang menganggap semua warga keturunan Tionghoa di Indonesia adalah kaya raya.
Biasanya narasi ini dibarengi oleh etos kerja keras mereka. Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Faktanya, tak sedikit pula dari mereka yang hidup dalam kelas menengah atau bahkan berada di bawah garis kemiskinan.
Anggapan ini bukanlah lahir belakangan, tapi sudah ada sejak beratus-ratus tahun lalu. Sejarah membuktikan kemunculan anggapan ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah kolonial pada masa lalu, yakni kebijakan Wijkenstelsel dan Passenstelsel atau bisa disebut Passen en Wijken Stelsel.
Jadi, Kok Bisa Ada Anggapan Semua Keturunan Cina di Indonesia Kaya Raya?
1. Kebijakan Kolonial yang Mempengaruhi
Secara terminologi, Wijkenstelsel adalah aturan pemerintah kolonial yang membagi wilayah berdasarkan kelompok. Sedangkan Passenstelsel adalah pembatasan wilayah yang membuat suatu kelompok tidak dapat bebas berpergian ke wilayah kelompok lain. Tentu, kelompok yang paling terdampak berasal dari etnis Tionghoa.
Alasan pemerintah kolonial memberlakukan kebijakan demikian tidak terlepas dari pengalaman pahit mereka. Pada 1740, terjadi pertentangan antara pendatang Belanda dengan orang Tionghoa di Batavia akibat faktor ekonomi. Gesekan ini berujung pada pembantaian ribuan orang Tionghoa di tangan kompeni Belanda.
2. Pengelompokan dan Pembatasan
Kejadian ini menimbulkan penguasa kala itu, VOC, membuat kebijakan pengelompokan (Wijkenstelsel) dan pembatasan (Passenstelsel). Tujuannya adalah untuk mengawasi orang Tionghoa dengan lebih ketat, agar tidak lagi berulah.
Atas dasar ini, tulis Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (2007:243), orang Tionghoa mulai dikelompokkan di satu wilayah di luar Batavia yang saat ini disebut Glodok. Mereka juga tidak bebas berpergian sebab harus menunjukkan identitas mereka.
3. Dampak Kebijakan di Masa Hindia Belanda
Seiring waktu, kebijakan ini terus dilanjutkan ketika pemerintah Hindia Belanda terbentuk. Bahkan, tulis Benny G. Setiono di Tionghoa Dalam Pusaran Politik (2003: 132), pelaksanaan secara intensif mulai diadakan pada masa tanam paksa, dari awal abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Wilayahnya tidak cuma di Batavia, tapi juga Semarang, Rembang, dan sebagainya.
Ketika serius dilaksanakan, orang Tionghoa di Jawa tidak bebas. Mereka harus berada di satu wilayah yang sudah ditentukan pemerintah. Jika ingin keluar dari wilayah, mereka harus meminta izin terlebih dahulu. Izin ini harus disertai jelas: kemana, dengan siapa, naik apa, dan berapa lama. Jika disetujui, mereka harus membayar biaya perizinan. Apabila melanggar, siap-siap dikenakan denda belasan gulden hingga hukuman penjara.
4. Isolasi dan Dampaknya
Menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa (2005: 45), semua itu membuat mereka terisolasi, tidak dapat masuk ke wilayah lain, hingga sulit berinteraksi dengan penduduk pribumi. Namun, di sisi lain isolasi ini membawa berkah.
Isolasi menyebabkan mereka, yang mayoritas peniaga, makin solid. Mereka jadi saling percaya dan mengenal kemampuan bakat serta finansial masing-masing. Tak jarang mereka juga berlanjut ke jenjang pernikahan. Semua ini pada akhirnya melahirkan istilah yang disebut Ong Hok Ham sebagai “Modal nikah dengan modal”. Artinya, kepercayaan yang berhasil mengawinkan modal, sehingga menciptakan modal baru yang memacu kekuatan ekonomi.
“Tak pelak lagi terjadilah ‘modal nikah dengan modal’ kemudian menumbuhkan kapitalisme di Kampung Cina,” tulis Ong dalam Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018: 139).
5. Kebangkitan Kapitalisme dan Pandangan Masyarakat
Dari sinilah, kampung Cina menjadi pusat dunia usaha baru di perkotaan. Sekaligus juga menjadi tempat lahirnya miliarder-miliarder baru, seperti Raja Gula Oei Tiong Ham yang jadi orang terkaya di Hindia Belanda abad ke-20.
Kebangkitan kapitalisme di Kampung Cina kemudian melahirkan pandangan rakyat bahwa orang Tionghoa sudah pasti kaya raya serta eksklusif, yang membuatnya berbeda dengan kelompok pribumi. Apalagi, di perjalanan, pandangan ini juga menciptakan jurang pemisah antara orang Tionghoa dan penduduk lain.
6. Kesuksesan dan Kerja Keras: Mitos atau Fakta?
Pandangan semua Tionghoa sudah pasti kaya kemudian bertahan sampai sekarang. Atas dasar ini pula, Ong Hok Ham mengumumkan kesuksesan keturunan Tionghoa di Indonesia bukanlah semata-mata karena kerja keras dan hidup hemat. Menurutnya, hal itu cuma mitos yang dimainkan pengusaha perusahaan untuk membujuk orang lain kerja keras dan hidup hemat.
“Sebab, kalau benar kerja keras dan hidup hemat dapat menghasilkan kapitalis, maka kalangan petani yang bekerja lebih keras dan hidup lebih hemat daripada pelaku bisnis kota, banyak yang jadi jutawan. Namun, ini tak terjadi,” ungkapnya. (hlm.129)
7. Bukan Masalah Ras
Bahkan, Ong juga menganggap kesuksesan orang Tionghoa bukan berhubungan dengan ras.
“Sikap saling percaya yang berkembang di dalam Pecinan merupakan modal bagi jaringan usaha di samping pentingnya peranan keluarga serta hubungan dengan penguasa. Akhirnya, tumbuhnya kapitalisme Cina di Indonesia tidaklah berhubungan dengan tentang ras,” kata Ong (hlm.141).