Pontianak- Masyarakat tidak boleh lagi diperlakukan sewenang-wenang oleh debt collector, terutama dalam kasus penarikan kendaraan bermotor. Hal ini ditegaskan oleh pakar hukum dari Universitas Tanjungpura, Dr. Hermansyah, yang menyoroti pentingnya penegakan hukum dan keterlibatan aparat kepolisian dalam menanggapi laporan warga terkait praktik penagihan yang tidak sesuai aturan.
Menurut Dr. Hermansyah, keberadaan debt collector sebenarnya sah secara hukum. Namun, dia menegaskan, sahnya keberadaan debt collector tidak serta-merta membenarkan tindakan mereka dalam menarik paksa kendaraan dari debitur yang wanprestasi.
“Debt collector itu legal, legal dalam arti qsebagai perusahaan jasa. Dalam Peraturan OJK Nomor 35 Tahun 2018, disebutkan bahwa perusahaan pembiayaan boleh menggunakan jasa penagih hutang, selama perusahaan itu resmi,” ujarnya.
Hermansyah menjelaskan jika upaya penarikan paksa suatu barang yang dilakukan oleh penagih hutang bisa dipidanakan. Mereka bisa dijerat dengan Pasal 351 KUHP jika sampai menganiaya.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 menjadi landasan hukum penting dalam persoalan ini. Dalam putusan tersebut, Mahkamah menegaskan, eksekusi atas objek jaminan fidusia seperti kendaraan bermotor yang dikreditkan tidak bisa dilakukan sepihak. Harus ada penetapan pengadilan terlebih dahulu (fiat executie), khususnya jika debitur menolak menyerahkan secara sukarela.
“Jadi, debt collector tidak bisa langsung tarik kendaraan. Harus ada penetapan dari pengadilan negeri,” kata Hermansyah.
Hermansyah juga menyoroti pentingnya peran aparat penegak hukum dalam situasi seperti ini. Dia berharap kepolisian responsif jika ada warga yang melapor atas tindakan sewenang-wenang debt collector.
“Karena sudah ada aturan yang jelas, maka aparat kepolisian harus merespons setiap laporan terkait kasus ini,” tambahnya.