Jakarta – Proses ibadah haji setiap tahunnya selalu mengakibatkan cerita-cerita menarik, tapi juga kelam. Salah satunya cerita dalam abad ke-19 kemudian 20 terkait banyaknya jemaah haji dengan syarat Indonesia yang dikerjai orang-orang Arab hingga uangnya habis.
Bagaimana bisa?
Henry Chambert-loir di Naik Haji di area Masa Silam: Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964 (2013) menceritakan, para jemaah haji jika Indonesia pada masa itu menjadi sasaran empuk warga Arab terkait perkara penipuan. Hal ini bisa saja terjadi sebab merek mayoritas tak menguasai bahasa Arab kemudian tak paham rukun, kewajiban, dan juga sunah haji.
Alhasil, apapun yang mana diucapkan warga Arab, jemaah selama Indonesia percaya-percaya saja. Bahkan, tulis Chamber Loir, “mereka cenderung mengagumi segala sesuatu yang mana Arab lalu menghina segala sesuatu yang tersebut Melayu”.
Sayang, sikap seperti ini menjadi celah bagi warga Arab melakukan perbuatan penipuan. Biasanya, para jemaah Indonesia menjadi objek pemerasan penduduk Arab, baik itu syekh, pedagang, hingga orang biasa. Bahkan, mereka itu punya julukan tersendiri terhadap orang-orang Jawa yang mana naik haji.
“Orang Arab memakai julukan yang menghina untuk menunjukkan orang Jawi itu, yakni farukha (jamak kata farkh, “ayam itik”) dan juga baqar, “hewan ternak”,” tulis Chambert-loir.
Pejabat Belanda yang naik haji, Snouck Hurgronje, jadi salah satu orang yang mana menyoroti tindakan hukum ini. Pada 1931, ketika ia naik haji, banyak jemaah jika Indonesia nurut-nurut cuma ketika disuruh melakukan berbagai kegiatan oleh orang Arab. Padahal itu di area luar agenda haji.
Sebut cuma seperti melakukan macam-macam ziarah juga berbagai ritus aneh. Tentu, semua kegiatan itu mengeluarkan uang tambahan yang mana mahal. Selain itu, Snouck juga mencatatkan data orang Arab juga pandai meninjau prospek melawan kepercayaan mitologi orang Indonesia.
Ketika naik haji, tak sedikit orang Indonesia percaya keberadaanya di tempat Arab sebagai sarana pembersihan diri dari berbagai kenistaan. Alhasil, merek mengajukan permohonan disemburkan air zamzam tiga kali ketika tiba di tempat Makkah dan pergi-pulang Madinah.
Nah, kata Snouck, orang Arab mengawasi ini sebagai cara mendulang uang. Mereka mengajukan permohonan bayaran untuk orang Indonesia yang mana tiada mengetahui kalau air zamzam sebenarnya gratis. Selain itu, beliau juga menyoroti tindakan hukum kecurangan berkedok penitipan uang.
Para jemaah haji dengan syarat Indonesia seringkali menghadirkan uang untuk bekal perjalanan, badal haji, atau buat diberi ke sanak saudara pada Makkah. Fakta ini kemudian menciptakan seseorang meminta-minta para jemaah menitipkan uang itu terhadap syekh haji. Akan tetapi, pasca dititipkan, uang yang disebutkan susah diperoleh kembali. Atau sekalipun bisa saja kembali, banyak dipotong komisi kemudian disalahgunakan.
Selain Snouck, sorotan melawan tindakan hukum ini diceritakan juga oleh Kepala Daerah Bandung, R.A Wiranatakusumah, lewat catatan perjalanan “Seorang Kepala Kabupaten Naik Haji”. Saat pergi haji dalam tahun 1924, Wiranatakusumah melihat berbagai jemaah Indonesia dibodohi orang Arab sampai disuruh melakukan hal yang tersebut tak masuk akal.
“Di Mekkah, penipu-penipu itu mudah sekali melakukan tipu dayanya,” ungkap Wiranatakusumah.
Pernah suatu waktu ada beberapa orang disuruh seseorang penipu menghimpun uang untuk diwakafkan ke masjid. Orang Indonesia tentu hanya percaya oleh sebab itu wakaf punya pahala besar. Mereka percaya semata dan juga memberikan uang untuk orang Arab itu.
Lucunya, orang Arab itu menjadikan tiang Masjidil Haram sebagai simbol wakaf. Jadi, merek “menjual” tiang itu seharga 300 real terhadap orang Indonesia yang tersebut hendak berwakaf. Pada titik ini, penyalahgunaan pun terjadi.
“Demikianlah tiang yang bukan pernah bergerak, dengan cara magis menghasilkan kembali beberapa jumlah uang yang digunakan tentu semata masuk kantong si penipu,” tulis Chambert-loir.
Pada akhirnya, sikap orang Arab yang menjadikan keluguan sebagai sarana penipuan, memproduksi berbagai uang jemaah selama Indonesia habis tak tersisa. Kasus-kasus ini lantas menjadi catatan khusus bagi jemaah haji tahun setelahnya. Bahkan, R.A Wiranatakusumah dalam catatan yang tersebut mirip menyarankan agar jemaah Indonesia tak mengakibatkan uang berlebih untuk terhindari tindakan hukum penipuan.