SelidikiNews.com – Bangkitlah Perempuan Aceh, Ketika Pemimpin Lelaki Tak Berdaya Oleh : Tarmidinsyah Abubakar (Good Fathers)
Sungguh tragis nasib perempuan Aceh dalam politik terutama dalam politik birokrasi. Sangat sedikit dari pemimpin perempuan dalam dunia birokrasi, sebagaimana dalam dunia politik partai yang mengatur pengurus partai dan calon legislatif 30 persen untuk peluang mereka.
Bila kita lihat dalam pengurus partai politik, perempuan yang diharapkan secara UU partai politik juga tidak maksimal karena sebahagian besar perempuan sekarang justru harus pergi dari partai politik karena pandangan dan instruksi suaminya sendiri.
Karena itulah maka perempuan dalam partai politik justru hanya menjadi pelengkap untuk sebatas memenuhi UU yang disyaratkan.
Kita sesungguhnya harus prihatin kepada masyarakat daerah yang bersikap mengharamkan perempuan sebagai pemimpin, apalagi mereka sebatas kepala dinas, kepala wilayah, bupati, walikota, camat serta geuchik.
Sebagai referensi saya sengaja mengutip isi buku karangan Prof. Dr. H. Muhibuddin Wali, yang berjudul “Hukum wanita menjadi Kepala Negara/kepala pemerintahan menurut pandangan Fiqih Islam (Islamic Jurisprudence).
Bahwa, pemimpin lelaki sebagaimana pendapat ahli-ahli tafsir jaman dahulu, yang berorientasi pada kekuatan lahir dan fisik, maka hanyalah bisa berlaku dalam hubungan keluarga yakni antara suami dan istri.
Sementara dalam kepemimpinan yang lebih luas dalam pemerintahan dan kemasyarakatan, perempuan yang memenuhi syarat-syaratnya sah diangkat sebagai pemimpin karena banyak perempuan yang lebih unggul dari lelaki secara kualitas. (Alinea pertama halaman 22).
Karena terbuka peluang labar dan jumlah perempuan yang lebih banyak, seharusnya pimpinan partai politik justru harus membangun pendidikan kader politisi perempuan.
Kalau pimpinan partai politik bertanggung jawab dalam politik perempuan, maka partai politik seharusnya mempunyai standar pengujian yang menempatkan sosok perempuan dalam suatu bobot penilaian pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, tidak melepaskannya pada partai politik yang kita pahami hingga saat ini jangankan mendidik kaum perempuan tetapi memberi peluang mereka saja sulit secara lapang dada.
Sesungguhnya lemahnya peranan perempuan dalam politik adalah kelemahan dan ketidakmampuan politisi dari kaum lelaki yang memelihara egoisme dalam kekuasaan politik.
Kalau agama Islam saja memberi dispensasi pada parempuan dalam ibadahnya ketika datang haid maka sesungguhnya perlu dipahami bahwa agama Islam mengistimewakan perempuan secara lahir dan batinnya. Lalu kenapa manusia lelaki justru menempatkan mereka dalam derajat sebagai makhluk yang selalu berada dibawah derajat politisi lelaki.
Secara fisik mungkin saja kaum lelaki bisa menempatkan mereka sebagai makhluk lemah, namun dalam mentalitas dan kecerdasan tidak sedikit perempuan yang melebihi lelaki dalam kekuatan daya tahan manjalani hidup termasuk menghadapi kemelaratan, dimana mereka masih dalam batas kesabaran yang luar biasa.
Oleh karena itulah maka jangan selalu melecehkan perempuan apalagi dalam dakwah Islamiah, sebahagian besar penceramah lebih banyak membuat perempuan sebagai objek lelucon materi dakwah dan melihat perempuan dalam kecamata negatif.
Mereka mungkin lupa bahwa ibu yang mengandungnya selama sembilan bulan dan melahirkannya yang mempertaruhkan nyawanya di ujung tanduk.
Mereka mungkin juga lupa bahwa istrinya adalah sebagai menusia kuat yang mengandung dan melahirkan anak-anaknya yang kemudian ketika mendidik anaknya dari dalam rumahnya secara lahir batin hingga menjadi orang sukses dan membiayai dan menanggung hidup si ayah dimasa tuanya.
Begitu banyak lelaki yang mensia-siakan perempuan disisinya apalagi ketika dia sukses, padahal semua kepentingannya mulai celana dan baju dalamnya sampai kemeja dan jasnya diurus oleh makhluk yang perempuan bernama istri sebelum dia sukses. Setelah suaminya jadi pejabat justru istri dibiarkan dan sebahagian besar memilih bersenang-senang dengan istri mudanya.
Terlepas dari ajaran agama yang membolehkan kawin lebih dari satu orang tetapi kalau sudah menjadi pejabat negara, pejabat daerah, wakil rakyat apalagi kepala dan wakil kepala daerah, mensia-siakan istrinya adalah pekerjaan hina dan melecehkan serta mempecundangi kehormatan perempuan. Mereka tergolong lelaki yang bersifat arogan dalam politik dan kekuasaan yang sama sekali tidak layak diberi suara dan kekuasaan oleh rakyat.
Memang tidak dapat disangkal terdapat adanya prilaku negatif pada perempuan yang kadang menjual harga dirinya menjadi PSK tetapi yang perlu di selidik dan diketahui sumber masalah mereka berada disana, tidak sebahagian kecil tapi sebahagian besar disebabkan oleh prilaku kaum lelaki yang menguasai kendali terhadap mentalitas perempuan dan dengan mudah melepaskan tanggung jawabnya.
Pertanyaannya apakah lelaki tidak punya rasa malu jika perempuan berlaku hina akibat ulah lelaki?
Saya jarang mendapatkan seorang pendakwah di Aceh yang tidak menjadikan perempuan sebagai objek kebencian pada prilaku perempuan dalam dakwahnya, apakah kerancuan dalam berpakaian dan lidahnya yang cerewetnya menjadi momok yang menyudutkan perempuan.
Atas dasar latar belakang tentang penghormatan pada kaum perempuan dalam politik dan bernegara maka mai sekarang, penulis mengajak kita berpikir bagaimana kita politisi di Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya bisa memberi peluang yang lebih besar kepada perempuan dalam berkarir dan menjadi pemimpin baik dalam instansi maupun dinas pemerintahan maupun swasta.
Karena apa? Tentu saja karena para kaum lelaki saat ini terlalu dominan dan akibat dominan tersebut hampir tidak satupun pemimpin partai politik yang memiliki grand skenario mengangkat kehormatan perempuan Aceh sebagaimana masa dulu yang justru mereka lebih maju daripada lelaki apalagi di tanah Aceh.
Karena itu kita berharap kepada pemimpin daerah dan seluruh stakeholder memberi penilaian lebih misalnya plus 1 (satu) atau plus 2 (dua) kepada perempuan yang layak syarat dalam suatu kompetisi kepemimpinan di instansi apa saja baik dalam politik maupun dalam pemerintahan serta dalam kehidupan sosial.
Misalnya dalam suatu kompetisi muncul satu- satunya perempuan, dan penilaian sama dengan lelaki yang juga unggul maka kalau nilainya sama-sama sembilan maka yang diberi kepercayaan adalah perempuan demi kebangkitan dan semangat mereka berjuang dalam berbagai perspektif karir dan hidupnya.
Dengan cara itu maka politik di Aceh yang kering dari nilai kepemimpinan perempuan secepat mungkin dapat di atasi. Karena dengan nunculnya perempuan sebagai pemimpin maka lelaki sudah sepantasnya mulai membenahi diri untuk mendapat nilai yang jauh diatas perempuan dalam tanggung jawabnya baik dalam politik maupun dalam pemerintahan yang wajib diprioritaskan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Kenapa begitu? Tentu saja kehadiran perempuan justru dapat menjadi cambuk bagi lelaki untuk bangkit dan menyempurnakan nilai kepemimpinannya yang dikuatirkan dikalahkan oleh perempuan.
Lihatlah selama ini di Aceh begitu lemahnya mentalitas para pemimpin partai tetapi masih saja mereka menganggap dirinya lelaki sejati dan pejantan tangguh. Padahal jika dikaji dari perspektif tanggung jawab dan prestasinya sungguh lemah dan tak berdaya.
Melalui tulisan ini saya mengajak kita semua baik laki yang perlu mendorong perempuan dan juga perempuan sendiri dapat mengabarkan kepada publik secara terbuka baik melalui media sosial atau media online atau sejenis media lain untuk meminta mendukung dan diberi kesempatan yang lebih terbuka dalam menjadi pemimpin dan mengejar karir untuk masa depannya.
Siapapun kita, apapun kompetisi yang diikuti perempuan, maka memilih mereka perempuan maka mereka sama dengan pahlawan yang mengangkat harga diri dan marwah bangsa. Dengan begitu kita bisa melahirkan kebijakan sosial dan modal sosial untuk perempuan bangkit baik di Aceh maupun dalam skala nasional.